Empat Organisasi ini Tolak Pemerintah Campuri Kebebasan Pers

Kebebasan pers mulai di usik dalam draft RUU itu pemerintah mengajukan revisi soal sanksi denda bagi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13, menjadi paling banyak Rp 2 miliar, naik dari sebelumnya Rp 500 juta.

Jakarta, Wartapos.id – Campur tangan pemerintah mulai mengusik kehidupan dan kebebasan pers saat ini.

Niat campur tangan itu, terungkap pemerintah tiga hari yang lalu mengirimkan draft Rancangan Undang-Undang/RUU Cipta Lapangan Kerja ke DPR. Dimana, perusahaan pers dalam draft RUU itu pemerintah mengajukan revisi soal sanksi denda bagi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13, menjadi paling banyak Rp 2 miliar, naik dari sebelumnya Rp 500 juta.

Padahal, Undang Undang/ UU No 40/1999 tentang Pers yang menjadi payung hukum kebebasan pers saat ini, dibentuk dengan semangat self regulatory dan tak ada campur tangan pemerintah di dalamnya.

Untuk itu, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan LBH Pers menolak upaya pemerintah untuk campur tangan lagi dalam kehidupan pers.

“Dalam RUU, campur tangan pemerintah ditunjukkan melalui adanya kewenangan pemerintah untuk mencabut SIUPP, mengendalikan Dewan Pers dengan menempatkan Menteri Penerangan sebagai ketua secara ex-officio, dan menetapkan hanya satu organisasi wartawan yang diakui,” demikian pernyataan sikap PWI, AJI, IJTI dan LBH Pers diterima redaksi, Minggu (16/2/2020).

Instrumen-instrumen itu muncul akan digunakan oleh pemerintah untuk mengendalikan dan mengekang pers. Padahal, dalam pandangan mereka, UU No.40/1999 tentang Pers sudah menjadi payung hukum kebebasan pers saat ini, dibentuk dengan semangat self regulatory dan tak ada campur tangan pemerintah di dalamnya. Semangat itu tak bisa dilepaskan dari pengalaman buruk di masa Orde Baru, di mana pemerintah melakukan campur tangan sangat dalam di bidang pers.

“Lahirnya Undang Undang Pers tahun 1999 memiliki semangat untuk mengoreksi praktik buruk pemerintah Orde Baru dalam mengekang pers. Semangat itu tercermin antara lain dengan menegaskan kembali tak adanya sensor dan pembredelan, Dewan Pers yang dibentuk oleh komunitas pers dan tanpa ada wakil dari pemerintah seperti masa Orde Baru,” terang pernyataan sikap bersama dengan narahubung Ketua Umum AJI Abdul Manan, Ketua Umum IJTI Yadi Hendriana, Ketua Bidang Advokasi PWI Ochtap Riady dan Direktur LBH Pers Ade Wahyudin itu.

Selain Undang Undang Pers tahun 1999 juga memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk menyusun ketentuan lebih operasional dari undang-undang itu. Artinya, kewenangan untuk mengimplementasikan undang-undang pers berada sepenuhnya di tangan Dewan Pers. Tanpa melalui peraturan pemerintah seperti dalam undang-undang pada umumnya.

RUU Cipta Kerja yang di dalamnya memuat usulan revisi agar ada peraturan pemerintah yang mengatur soal pengenaan sanksi administratif, bagi mereka, adalah bentuk kemunduran bagi kebebasan pers. Hal ini sama saja dengan menciptakan mekanisme “pintu belakang” atau “jalan tikus” bagi pemerintah untuk ikut campur urusan pers.

“Kami mengkhawatirkan hal buruk di masa Orde Baru akan terulang, di mana pemerintah menggunakan dalih soal administratif untuk mengekang pers. Kami meminta revisi pasal ini dicabut,” tandas keempat organisasi itu.

Mereka juga menolak kenaikan sanksi denda bagi perusahaan pers. Dalam draft RUU itu pemerintah mengajukan revisi soal sanksi denda bagi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13, menjadi paling banyak Rp 2 miliar, naik dari sebelumnya Rp 500 juta.

Pasal 5 ayat 1 mengatur pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pasal 5 ayat 2 berisi ketentuan pers wajib melayani hak jawab. Sementara Pasal 13 mengatur soal larangan pemuatan iklan yang antara lain merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.

Mereka mempertanyakan urgensi menaikkan denda sampai lebih dari 400 persen. Secara prinsip mereka setuju ada sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh pers. Namun, sanksi itu hendaknya dengan semangat untuk mengoreksi atau mendidik.

“Dengan jumlah denda yang sebesar itu, kami menilai semangatnya lebih bernuansa balas dendam. Adanya sanksi sebesar itu juga bisa dijadikan alat baru untuk mengintimidasi pers. Oleh karena itu, kami meminta usulan revisi pasal ini dicabut,” ujar mereka.

Sebaliknya, mereka menuntut konsistensi pemerintah dalam menerapkan Undang Undang Pers. Mereka menyatakan Undang-Undang Pers masih memadai untuk melindungi kebebasan pers asalkan dilaksanakan dengan konsisten.

Mereka, menangkap kesan pemerintah seperti menjalankan politik “lip service”, pencitraan, untuk mengesankan melindungi kebebasan pers, dengan cara menaikkan jenis sanksi denda ini. Mereka menilai, yang jauh lebih substantif yang bisa dilakukan pemerintah adalah konsistensi dalam implementasi penegakan hukum Undang Undang Pers.

“Menaikkan sanksi denda bagi orang yang melanggar pasal 4 ayat 2 dan 3 bukan solusi untuk menegakkan UU Pers. Namun bagi kami yang lebih utama adalah bagaimana konsistensi dalam implementasinya. Selama ini, tindakan orang yang dinilai melanggar dua ayat itu antara lain berupa kekerasan terhadap wartawan saat menjalankan tugasnya,” tegas pernyataan sikap tersebut.

Editor : redaksi